Sejumlah panser dibawa ke Kampung Tanduo, Lahad Datu, Sabah, Malaysia, Senin (4/3), lokasi kontak senjata antara pasukan Pemerintah Malaysia dan kelompok bersenjata Filipina. Malaysia mengirim dua batalion tentara untuk membantu polisi mengatasi perlawanan kelompok yang mengklaim Sabah sebagai
wilayah Kesultanan Sulu. (AP Photo/Bernama News Agency)
(IMP) -- Tepat 9 Februari lalu, 100-300 orang asal Filipina selatan, yang sebagian bersenjata, mendarat di salah satu pantai di Negara Bagian Sabah, Malaysia. Mereka lalu membangun permukiman sementara di kota pantai Lahad Datu.
Kedatangan mereka ke Sabah bukan dalam rangka mengungsi atau menjadi imigran gelap pencari kerja, seperti sering terjadi di kawasan perbatasan Malaysia-Filipina itu.
Kehadiran warga yang mengaku keturunan dan utusan Kesultanan Sulu di Filipina itu membawa misi besar. Mereka bertekad mengklaim dan mengambil kembali tanah warisan leluhurnya di Sabah.
Belakangan situasi berkembang memburuk. Antara kelompok penyusup dan aparat keamanan Malaysia terlibat baku tembak. Kontak tembak pertama kali terjadi, Jumat (1/3), yang memakan 14 korban jiwa. Hari Sabtu, jumlah korban tewas dari kedua belah pihak mencapai 27 orang, setelah terjadi baku tembak lagi di bagian lain Sabah.
Jumlah itu dikhawatirkan akan terus bertambah mengingat upaya pengejaran oleh aparat terus berlangsung. Kelompok penyusup juga mengaku tak mau menyerah dan akan terus melawan sampai Pemerintah Malaysia bersedia duduk satu meja untuk berunding.
Aksi nekat kelompok penyusup yang ”menginvasi” wilayah Sabah itu terjadi tak lama setelah Pemerintah Filipina dan kelompok separatis Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina Selatan menandatangani kesepakatan damai pada Oktober 2012.
Beberapa saat sebelum kesepakatan damai ditandatangani, Jamalul Kiram III (74), Sultan Sulu saat ini, merasa dikhianati lantaran tanpa alasan jelas dikecualikan dari proses perundingan, yang difasilitasi Malaysia itu.
Profesor hukum Universitas Filipina, Harry Roque, seperti dikutip BBC, melihat seluruh peristiwa itu terkait satu sama lain. Semua kejadian itulah yang kemudian melatarbelakangi apa yang terjadi sekarang di Sabah.
Menurut Roque, lantaran kecewa, Kesultanan Sulu kemudian memilih memisahkan diri dan berupaya mengumpulkan kembali seluruh wilayah kerajaannya, yang tersebar di sejumlah kepulauan di Filipina Selatan hingga Sabah.
Sejarah mencatat, pada tahun 1658, Sultan Brunei menghadiahkan wilayah Sabah ke Sultan Sulu atas bantuan yang diberikan dalam melawan pemberontakan di Brunei.
Pada masa penjajahan Inggris, tepatnya pada tahun 1878, wilayah Sabah disewa oleh British North Borneo Company.
Perusahaan itu harus membayar uang pajak senilai 1.600 dolar AS per tahun. Dalam kontrak disebutkan bahwa uang sewa akan terus dibayarkan selama Sabah masih dalam kekuasaan perusahaan tersebut.
Saat Inggris pergi dan Sabah kemudian menjadi bagian dari wilayah negara Malaysia, Pemerintah Malaysia masih meneruskan pembayaran itu. Hingga kini, Malaysia masih membayar sekitar 5.000 ringgit Malaysia (Rp 15,6 juta) per tahun kepada pewaris Kesultanan Sulu.
Persoalan awalnya muncul ketika Inggris memerdekakan Malaysia. Sejak tahun 1963, saat Sabah dinyatakan masuk wilayah Malaysia, secara sepihak Inggris menginterpretasikan isi kontrak secara berbeda dari sebelumnya.
Pihak Inggris menganggap uang yang dibayarkan ke Kesultanan Sulu sebagai uang untuk mengalihkan kepemilikan Sabah walau proses pembayarannya masih terus berlangsung dan diwariskan ke Pemerintah Malaysia sampai sekarang.
Sementara pihak Kesultanan Sulu menganggap uang pajak tersebut tetap sekadar uang sewa wilayah mereka di Sabah. Status kepemilikan, menurut mereka, tak berubah.
”Dalam opini saya, uang itu seharusnya memang tetap sebagai uang sewa karena tidak ada penjualan yang harganya tidak tetap dan terus dibayar sampai kiamat,” ujar Roque.
Roque mengaku curiga ada kesepakatan diam-diam antara Pemerintah Filipina dan Malaysia, yang kemudian menyebabkan proses perdamaian antara Filipina dan MILF tak lagi melibatkan Kesultanan Sulu.
Tujuan akhirnya, Sabah nantinya tak dipersoalkan lagi pada masa mendatang. Sabah selama ini diketahui memang kaya sumber daya alam. Wilayah itu terus berkembang dan menjadi sumber kesejahteraan bagi Malaysia dan penduduknya.
Sebaliknya, Kepulauan Sulu sampai sekarang masih menjadi salah satu kawasan termiskin di Filipina. Faktor ekonomi diduga juga menjadi faktor pemicu lain pihak Sulu mencoba mengambil alih kembali Sabah.
”Fakta bahwa Malaysia mengajukan diri menjadi fasilitator (perundingan damai dengan MILF) pastinya berdampak pada keputusan pemerintahan Presiden Benigno Aquino III mengabaikan keberadaan Kesultanan Sulu. Mungkin juga Malaysia menawarkan diri lantaran mereka tak ingin klaim atas Sabah muncul lagi pada masa mendatang,” ujar Roque.
Kondisi itulah yang sekarang memicu kekhawatiran lain: situasi bakal berkembang menjadi jauh lebih buruk dan bahkan bisa memengaruhi proses damai di Filipina selatan.
Keberadaan Kesultanan Sulu di Filipina memang sangat dihormati dan disegani. Mereka dapat dengan mudah memperoleh dukungan dan simpati di dalam negeri, termasuk saat menghadapi krisis di Sabah kali ini.
Benito Lim, sejarawan dari Ateneo de Manila University, menilai, sejak awal langkah mengecualikan Kesultanan Sulu dalam perundingan damai tersebut sebagai sebuah kesalahan fatal yang dampaknya sekarang dirasakan, bukan hanya oleh Filipina, melainkan juga oleh Malaysia.
(Kompas)
No comments:
Post a Comment