Milisi bersenjata yang menggelar aksi protes terhadap pemerintah Libya
Tripoli, (IMP) -- Di saat sejumlah departemen Libya termasuk departemen dalam negeri dan kehakiman masih tetap dijaga ketat pasukan keamanan, milisi bersenjata negara ini mulai mengajukan tuntutan baru.
Pengunduran diri Perdana Menteri Ali Zeidan, pembekuan aset pemerintah yang baru-baru ini dibebaskan dan pembentukan komite khusus sebagai penanggung jawab departemen luar negeri termasuk sejumlah tuntutan milisi bersenjata Libya.
Bersamaan dengan tuntutan tersebut, Ali Zeidan mengkonfirmasikan perombakan kabinet dalam waktu dekat. Dalam sebuah statemennya Zeidan menyatakan, gerakan ini dimaksudkan untuk mengurangi tensi di Libya serta mengeluarkan negara dari krisis politik.
Dalam beberapa pekan lalu, di tengah-tengah aksi pengepungan sejumlah departemen Libya oleh milisi bersenjata, Kongres Nasional Umum (parlemen) negara ini meratifikasi undang-undang pelarangan aktivitas politik bagi anasir mantan rezim terguling. Berdasarkan undang-undang ini, anasir yang berada di bawah rezim terguling dilarang aktif di kancah politik selama sepuluh tahun.
Jika undang-undang ini benar-benar dilaksanakan, mayoritas petinggi Libya saat ini termasuk Ali Zeidan harus mengundurkan diri. Namun saat ini, tidak ada pembicaraan mengenai pengunduran diri Zeidan dan para petinggi negara hanya membicarakan masalah perombakan kabinet. Isu ini jelas membuat milisi bersenjata (anasir revolusioner) tak puas. Oleh karena itu, sejumlah pengamat menilai berlanjutkan kekerasan dan friksi politik serta sosial di Libya tidak dapat dihidari. Khususnya kini terbentuk aliansi baru untuk menghadapi gerakan milisi bersenjata yang memblokade sejumlah kantor kementerian di negara ini.
Aliansi baru ini yang berkoordinasi dengan pemerintahan Tripoli mengancam menggunakan kekerasan untuk mengusir milisi bersenjata yang menggelar aksi mogok di berbagai departemen negara ini. Jika ancaman ini direalisasikan, maka meletusnya aksi kekerasan tak dapat dihindari dan ini merupakan awal dari pertumpahan darah di Libya.
Saat ini Libya tengah menghadapi dua kendala utama, pertama banyak tuntutan rakyat yang masih belum dipenuhi dan kedua, terjadi perang perebutan kekuasaan secara tersembunyi antara pemimpin yang berkuasa, anasir revolusioner dan para pemimpin kabilah yang berpengaruh. Dua masalah ini cukup menggoncang Libya dan memicu perang bersaudara.
Petinggi Libya yang tidak memiliki pengalaman mengelola negara sampai saat ini gagal membawa proses politik ke jalur yang benar. Yang lebih penting lagi tidak ada hubungan konstruktif antara pemerintah dan berbagai kubu politik di negara ini.
Hasil dari kondisi ini adalah munculnya berbagai insiden seperti aksi penyerbuan milisi bersenjata dan blokade terhadap departemen penting oleh kelompok bersenjata. Peristiwa ini disamakan oleh sejumlah elit politik sebagai miniatur kudeta. Hal itu dengan sendirinya merupakan lonceng tanda bahaya bagi pemerintah yang berkuasa saat ini dan revolusi Libya.
Sepertinya Libya dalam kondisi saat ini sangat membutuhkan kesepahaman nasional. Hal ini pun tidak mungkin terwujud kecuali pemerintah dan berbagai kubu politik lebih mengedapankan masa depan revolusi ketimbang tuntutan setiap kabilah dan golongan. Namun tak boleh dilupakan bahwa demograsi sosial Libya terdiri dari beragam etnis dan kabilah.
Seluruh etnis dan kabilah memilik kepentingan dan merasa berjasa di kemenangan revolusi dan kini mereka mulai menuntut sahamnya di pemerintahan. Di kondisi seperti ini, kecerdasan pemerintah Libya merupakan faktor yang dapat menciptakan keseimbangan di masyarakat serta mempersiapkan terbentuknya stabilitas di negara ini.
(IRIB Indonesia/MF)
No comments:
Post a Comment