(ARC/IMP) Sebagai peserta yang tampil paling akhir, Dassault Rafale tampak berupaya keras menyalip di tikungan akhir menjelang garis finish. Dan tidak main-main upaya yang dilakukan Dassault. Meski paling buncit, pabrikan Perancis ini langsung memboyong 2 unit jet tempur Rafale, untuk diujicobakan TNI-AU maupun Kementrian Pertahanan. Dan aksi yang dilakukan Rafale ini, sejujurnya mengundang decak kagum.
Namun, sebagaimana amanat Undang-Undang Industri Pertahanan, dan sekaligus pemanis kontrak, setiap pabrikan menawarkan sejumlah paket teknologi transfer. Dan untuk mencari tahu hal ini, ARCinc pun berkesempatan bertanya langsung kepada Executive Vice President America-Africa-Asia Military Sales dari Dassault Aviation, J.P.H.P Chabriol. Dan pertanyaan pertama tentunya paket transfer teknologi apa yang Dassault tawarkan ke pihak Indonesia.
Jawaban Chabriol cukup lugas. Ia menyatakan Dassault siap memberikan apapun yang Indonesia minta sebagai imbal pembelian Rafale. Mulai dari perawatan, produksi sub sistem hingga perakitan penuh (full assembly) jet tempur Rafale di Indonesia. Chabriol mencontohkan, pada penawaran dengan India, lebih dari 100 unit Rafale akan dibangun di dalam negeri India. "Meski jumlah pembelian Indonesia nantinya tidak sebanyak India, paket full assembly pun bisa saja dilakukan," papar Chabriol.
Selain itu, janji Dassault memberikan transfer teknologi bisa dilakukan lebih mudah lantaran Rafale merupakan jet tempur yang 100% murni buatan Perancis. Artinya tidak diperlukan persetujuan negara ketiga yang memasok subsistem dari Rafale. Bahkan Chabriol juga menyatakan kesiapannya bekerja sama dengan Industri Pertahanan lain seperti LEN, Pindad dan lain sebagainya.
Permasalahan lain yang kerap mengantui pembelian senjata oleh Indonesia adalah embargo. Untuk hal ini, Chabriol kembali mempertegas bahwa Rafale adalah 100% buatan Perancis. Jadi tidak perlu ada kekhawatiran mengenai embargo dari negara ketiga sebagai pemasok subsistem. Alutsista buatan Perancis sendiri sudah banyak digunakan militer Indonesia, mulai dari Helikopter, Panser, Meriam, Radar, dan sebagainya tanpa adanya bayang-bayang embargo.
Bagaimana dengan harga Rafale yang dianggap cukup mahal. Sembari tersenyum, Chabriol menyatakan keberatannya membandingkan Rafale dengan jet tempur yang lebih murah. Namun, ia kembali mencontohkan saat tender di India, dimana Rafale dibandingkan dengan Typhoon. "Setelah melalui beragam kalkulasi meliputi biaya operasional, life cycle, perawatan, Rafale justru lebih murah dibanding Typhoon", klaim Chabriol.
Sementara itu, dari sisi Indonesia, ARCinc bertanya langsung kepada PT.DI , yang juga ternyata salah satu pemrakarsa kedatangan Rafale ini. Dirut PT.DI, Budi Santoso, menyatakan yang ia cari adalah kemampuan mengupdate dan mengupgrade pesawat tempur. Menurutnya, pesawat tempur berbeda dengan pesawat angkut, dimana dalam masa operasionalnya selama 20-30 tahun, harus selalu diupdate sehingga bisa memenangkan pertempuran. Namun demikian, pihaknya tetap menyerahkan kepada pemerintah dan pihak terkait mengenai transfer teknologi yang disepakati.
Lalu bagaimana dengan Typhoon? Bukankah PT.DI sebelumnya tampak bekerja sama dengan Konsorsium Eurofighter? "Oh.. itu hanya pancingan, buktinya Rafale mau datang kan", kata Budi Santoso sambil tersenyum.
(ARC)
No comments:
Post a Comment